SAAT ITU terlihat puluhan orang keluar dari sebuah bangunan. Dari warna cat yang terpoles, serta beberapa bahan bangunan yang ada , bisa ditebak bangunan ini baru saja selesai dibangun.
Kaum pria memakai bawahan sarung yang terbuat dari ulos. Tak ketinggalan diselempangkan ulos. Bagian atas kepala ditutup dengan sorban –kain putih yang dibentuk dengan cara dililit di kepala. Sedangkan buat pria lajang, mereka cukup memakai sarung. Hal inilah yang membedakan kaum pria yang sudah berkeluarga dan belum berkeluarga.
Hal yang sama juga berlaku bagi kaum perempuan. Jika yang sudah berkeluarga, mereka diwajibkan menggunakan baju kebaya dan juga ulos yang diselempangkan. Sedangkan para gadis, cukup memakai kain sarung saja.
Mereka adalah Parmalim. Merupakan sebutan untuk penganut Ugamo Malim –agama malim--, dan sudah sejak lama diyakini sebagai agama tradisional suku Batak jauh sebelum masuknya Islam dan Kristen pada abad 19.
Karena masuknya ajaran Islam dan juga Kristen, Ugamo Malim mengalami kemerosotan. “Yang tetap bertahan dan berkembang sampai dengan hari ini adalah Parmalim Hutatinggi, berpusat di Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir,” ungkap Rinsan Simanjuntak sembari menyulut rokok. Ia merupakan pemimpin kelompok Ugamo Parmalim yang ada di Medan.
Pria bertekstur tegap itu menggunakan setelan jas dan celana keper berwarna abu rokok, dipadu kemeja putih. Ia juga memakai peci hitam. Mukanya terlihat sumringah. “Kami berterima kasih, adik-adik mahasiswa mau berkunjung ke tempat kami,” tutur R. Simanjuntak.
PARMALIM merupakan suatu penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Parmalim sama sekali enggan dikatakan sebagai suatu aliran. Debata Mulajadi Nabolon adalah nama tuhan mereka. Untuk kitab sucinya sendiri, mereka bersumberkan kepada Patik Ni Ugamo Malim –pokok ajaran malim—yang berbentuk lisan.
Ada lima bagian yang tertera pada Patik itu, yakni Bagian Manuru –kewajiban--, Maminsang –larangan--, Paingothon –peringatan--, Panandaion –pengenalan, dan juga bagian puji-pujian. Parmalin juga memiliki dua ibadah wajib. Wajib pertama biasa disebut Mararisabtu, biasa dilakukan pada hari Sabtu. Ini merupakan rutinitas berjamaah yang diisi dengan doa bersama, dan dilakukan di Bale Pasogit –tempat ibadah Ugamo Malim. Sedangkan ibadah lainnya biasa dilakukan setahun sekali. Berisikan doa-doa dan puji-pujian. Ibadah ini dibagi dua rentang waktu, yaitu ditaja pada awal tahun kalender batak –Sipaha Sada—dan pada pertengahan tahun –Sipaha Lima. Untuk Siapaha Sada dan Sipaha Lima hanya dilakukan di Bale Pasogit Hutatinggi dan diikuti seluruh penganut Parmalim.
Jika dikaitkan dengan ajaran Islam dan Kristen, sekilas Ugamo Malim sedikit memiliki persamaan. Dalam Islam, setiap umatnya diharamkan untuk memakan babi, anjing, darah dan bangkai. Ugamo Malim juga berlaku hal demikian. Dan ketika mereka berdoa, mereka juga diwajibkan memakai sorban. Dan apabila ada keluarga yang meninggal dunia, mereka juga dibalut dengan kain kafan.
Sedangkan kemiripan dengan agama Kristen ialah di dalam aqidah meeka, mereka juga mempercayai adanya anak Tuhan, yaitu Debata Natolu yang ada diurutan kedua setelah Debata Mulajadi Nabolon –Tuhan Ugamo Malim. Banyak yang mengatakan parmalim merupakan kepercayaan yang dibawa oleh Raja Sisingamangaraja. “Kami percaya Debata Mulajadi Nabolon telah mengirimkannya untuk menggantikan diri-Nya,” ungkap pemuda Parmalim, Manotar Simanjuntak.
Mereka mengaku sulit beradaptasi kepada yang lain. Tapi mereka juga tidak banyak menuntut. Mereka hanya berharap anak mereka tetap bisa menempuh pendidikan formal.
KULITNYA sawo matang. Tekstur badan sekitar 177 cm. Mengenakan kemeja panjang biru, dipadu sarung bermotif kotak berwarna hijau pudar. Ia merupakan mahasiswa Stambuk 2007 Jurusan Pendidikan Matemetika Universitas Negeri Medan –UNIMED. Ada suka duka dari cerita yang ia utarakan mengenai pendidikan. Pria itu bernama Tua Maringan Dame Simanjuntak, biasa disapa Tua.
Guna menempuh pendidikan formal, ia harus mengaku sebagai umat Kristen Katolik. Ini dilakoninya mulai dari menempuh pendidikan SD hingga perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan, pendidikan formal di Indonesia tidak mengenal ajaran Ugamo Malim. “Kami memang mengikuti aturan formal yang ada di sekolah, salah satunya mengikuti ajaran Katolik. Tapi tidak untuk menjadi umat-Nya,” tambah Tua.
Semangat belajar tetap membara. Bahkan dengan menekuni ajaran agama lain ia mendapatkan sebuah kehormatan. “Aku memang bukan orang Kristen Katolik, tapi ketika pelajaran agama, aku mendapatkan nilai lebih dari kawanku yang beragama Kristen , dan guru agamaku saat itu juga mengakuinya,” cerita Tua.
Dengan agama yang tak diakui itu, ia mendapatkan banyak cercaan dari kawan-kawannya. “Aku sering diolok-olok mereka, tapi aku tetap dalam agamaku, yaitu Ugamo Malim,” ceritanya melalui pesan singkat, Rabu (2/11)
Pulung Sirait, penganut Ugamo Malim yang berasal dari Irian Jaya juga ikut andil ketika berbicara tentang pendidikan. Diceritakannya, para peserta didik Ugamo Malim di Jakarta tidak harus menganut agama lain untuk mendapatkan nilai pelajaran.
“Pihak sekolah cukup meminta nilai agama mereka dari pimpinan Ugamo Malim,” tegasnya. Sedangkan di Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Bupati setempat memang menunjuk seorang guru, Pantun Sitorus, yang berasal dari Ugamo Malim untuk mengajar. “Pemerintah Medan setidaknya bisa mengembangkan pendidikan seperti di Jakarta,” harap Pulung.
Demi mendapatkan banyak pengetahuan mereka rela menganut kepercayaan agama lain. “Kami ingin Ugamo Malim disyahkan,” harap R. Simanjuntak. Seorang mahasiswi jurusan Antropologi Universitas Sumatera Utara dan juga pemerhati masalah keberagaman di Sumatera Utara, Febry Eva Lovina berpendapat lain pula. Menurutnya agama tidaklah harus dijadikan identitas formal dalam pendidikan. “Jika karena permasalahan agama, hak penganut ugamo malim terhambat untuk mendapatkan pendidikan layak, lebih baik kelima agama yang disyahkan pemerintah itu dihapuskan saja,” pungkas Eva.
Berdasakan UU No 1 PNPS 1965, agama yang syah di Indonesia adalah, Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat dengan kepercayaan lain diluar kelima agama tersebut mengeluhkan sedikit banyaknya mendapatkan tindakan ‘diskriminati’.
Hal berbeda disampailan Putra Mangaratua. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini mengatakan sah-sah saja Parmalim tidak mendapatkan hak sebagaimana agama lainnya. Menurutnya kejadian ini memang sudah berlangsung sejak orde baru. “Toh di belahan bumi Indonesia lainnya juga banyak agama kecil seperti Parmalim yang juga tidak mendapatkan hak,” ujar Putra.
Menurutnya Pemerintah Indonesia memiliki dasar mengapa Parmalim tidak dicantumkan sebagai agama yang syah. “Parmalim itukan agama tradisionil, atau tepatnya sumber ajarannya juga belum diketahui secara eksplisit. Jadi kalau mereka ingin disyahkan, cemburulah nanti agama-agama kecil lainnya. Lucu juga nanti kalau Indonesia punya ratusan agama,” katanya.